Street food merupakan makanan atau minuman yang dijajahkan
di tempat umum, biasanya menggunakan tempat yang portable, misalnya seperti
gerobak dan juga harganya lebih murah dibandingkan dengan makanan yang dijual
di rumah makan. Mungkin istilah street food kalau diterjemahkan ke bahasa
sehari-hari menjadi jajanan pinggir jalan. Kalau kita mebicarakan soal jajanan pinggir jalan, Indonesia boleh dibilang
juara banget, mengapa demikian? Bayangkan, ada berapa suku dan bangsa di
negara kita ini. Setiap suku, bangsa, dan daerah memilikki kekhasan kulinernya
sendiri, dengan bahan, bumbu, serta cita rasa yang berbeda-beda sesuai dengan
kekayaan alam serta tradisi di masing-masing daerah.
Saya sendiri lahir dan tumbuh besar di Jakarta ,
ibukota Indonesia .
Walaupun Jakarta merupakan kota metropolitan
yang sarat dengan kesan modern, tidak sulit menemukan jajanan pinggir jalan di
berbagai belahan kota
ini. Sebut saja di depan sekolah-sekolah, di belakang gedung perkantoran, di
depan tempat ibadah, di taman-taman, juga di komplek perumahan, sangat mudah
menemukan berbagai penjaja makanan yang menawarkan makanan khas Nusantara,
mulai dari yang ringan seperti gorengan, kue putu, siomay, tahu gejrot, rujak,
sampai yang bisa dijadikan pilihan makanan berat seperti sate, mie ayam, nasi
goreng, dan lain sebagainya. Dari pagi
hingga malam hari, penjaja makanan ini mewarnai sudut-sudut ibukota. Beberapa penjaja
makanan hanya bisa ditemukan di waktu-waktu tertentu saja, entah pagi, siang,
ataupun malam.
Sesungguhnya, saya kagum dengan para penjaja makanan pinggir
jalan ini, setiap pagi saya berangkat kerja, saya melihat tukang bubur yang
biasa berjualan dekat kantor saya mendorong gerobak buburnya, entah dari mana
ke tempat berjualannya, mendorong gerobak yang saya yakin tidak ringan. Sayapun
sering membaca artikel tentang para pedagang makanan kaki lima yang tidak enggan berjalan kaki atau
bersepeda jarak jauh tempat tinggalnya menuju tempat berjualan, demi keuntungan
yang tidak seberapa. Para penjaja makanan
inilah yang selalu memuaskan kerinduan saya dan para pecinta kuliner. Mereka
jugalah yang turut melestarikan kekayaan kuliner Nusantara.
Lain lidah, lain pula selera, saya sendiri merupakan orang
yang menyukai makanan yang asih, gurih, serta renyah, oleh karena itu, saya
sangat suka jajan gorengan. Sangat mudah menemukan tukang gorengan di Jakarta ini, menurut saya
gorengan merupakan penganan favorit berbagai kalangan, rasanya enak, harganya
murah, hanya saja tidak sehat. Bicara soal sehat, mungkin erat kaitannya dengan
higienitas. Dari sudut pandang seorang warga ibukota, menurut saya higienitas
merupakan salah satu poin minus dari jajanan pinggir jalan, terutama di Jakarta ini. Kebanyakan
penjaja makanan pinggir jalan ini tidak memperhatikan higienitas, mulai dari
menggunakan tangan yang sama untuk menerima uang dan menyajikan makanan,
menggunakan air yang sama berulang-ulang untuk mencuci piring atau mangkok
kotor, juga menggunakan minyak yang sudah berulang-ulang dipakai untuk
menggoreng. Bahkan hal-hal ini yang terkadang membuat beberapa orang
menghindari makanan-makanan ini, juga seringkali orang tua juga melarang
anak-anaknya untuk membeli makanan-makanan ini karena faktor higienitas dan
kesehatan. Saya sendiri menyiasati hal ini dengan mengatur intensitas saya
mengkonsumsi makanan-makanan ini, walaupun sangat suka, namun seringkali saya
menahan diri untuk menikmati gorengan kesukaan saya, saya memberi jatah pada
diri saya sendiri beberapa minggu sekali saja untuk mengkonsumsinya, juga
diimbangi dengan mengkonsumsi buah-buahan dan sayur-sayuran.
Salah satu faktor
yang membuat makanan pinggir jalan disukai selain karena rasanya yang enak dan
nikmat adalah harga. Harga yang ditawarkan untuk mencicipi jajanan pinggir
jalan ala Indonesia ini boleh terbilang murah, terlebih bila dibandingkan
dengan harga jajanan pinggir jalan di negara lain. Mulai dari ratusan rupiah,
kita dapat menikmati sepotong tahu atau pisang goreng. Dengan ribuan
rupiah, kita dapat menikmati semangkuk bubur atau sepiring nasi goreng. Hanya
saja, di beberapa daerah harga yang ditawarkan bisa jadi lebih mahal, mungkin
dikarenakan pungli tempat, atau juga melihat pangsa pasar yang terdiri dari
golongan ekonomi yang lebih tinggi. Bahkan terkadang harganya tidak masuk akal,
tetapi tetap saja keinginan untuk menikmati makanan tersebut mengalahkan
kekesalan mengeluarkan uang yang berlebih.
Faktor lain yang
membuat masyarakat tidak bosan menikmati jajanan pinggir jalan ini adalah
keragamannya. Mulai dari pagi hari, kita bisa menikmati bubur ayam, nasi uduk,
atau ketupat sayur. Untuk makan siang, ada sate, bakso, berbagai jenis soto,
gado-gado, dan lainnya. Untuk makan malam, kita dapat menikmati nasi goreng,
sampai dengan martabak telor sebagai penganan dapat kita nikmati. Keragaman
kuliner ini pula yang seringkali membuat rindu warga Indonesia yang tinggal di
negara lain. Tak jarang teman-teman saya yang menetap di negara lain, begitu
rindu akan jajanan dan makanan pinggir jalan ini, hingga rela melakukan
berbagai usaha seperti mencoba membuat sendiri, sampai menempuh jarak jauh demi
mengunjungi penjual makanan khas Indonesia di negara tersebut, walau tetap
rasanya berbeda dengan yang di Indonesia karena keterbatasan bahan yang ada di
sana. Kegiatan yang wajib pula ketika mereka kembali ke Indonesia adalah
mengunjungi setiap tempat jajanan yang mereka rindukan. Sebegitunyalah jajanan
pinggir jalan ini melekat di hati warga Indonesia.
Kalau bicara soal
jajajan pinggir jalan, boleh dibilang saya bangga dan bersyukur tinggal di
Indonesia yang memilikki keragaman kuliner yang luar biasa. Setelah mencicipi street food di beberapa negara lain, tetap menurut saya masih kalah dengan
jajanan pinggir jalan khas Indonesia. Semoga para penjaja jajanan pinggir jalan ini akan terus ada dan maju, melestarikan kuliner Nusantara, dan memuaskan kerinduan para pecinta kuliner.